SOKOGURU - Emas sering dianggap sebagai aset lindung nilai yang aman, terutama saat kondisi ekonomi tidak menentu.
Namun, perlu diingat emas bukanlah instrumen investasi jangka pendek. Kenaikan harga emas, tidak serta merta jadi keuntungan buat investor. Salah perhitungan malah bikin boncos.
Ada beberapa alasan, mengapa emas sebaiknya tidak dijadikan instrumen investasi jangka pendek, satu di antaranya selisih harga jual dan beli.
Misalnya, jika Anda pada, 11 Mei 2025 membeli emas di butik antam dengan harga Rp1.928.000 per gram. Di hari yang sama, nilai jual emas Anda berada pada angka Rp1.777.000 per gram.
Terdapat selisih Rp151.000 per gram antara harga jual dan harga beli, belum lagi biaya pajak sebesar 0,25% yang menyertai harga pembelian emas.
Selain karena selisih nilai jual yang hampir mencapai 10%, ada alasan lain mengapa emas tak bisa dijadikan sarana investasi jangka pendek, yaitu pergerakan harga pada skala harian, pekanan, dan bulanan.
Harga emas bisa saja naik dan turun di pekan yang sama. Ditinjau dari harga bulanan, emas juga bisa naik pesat sekaligus turun tajam pada perdagangan di bulan yang sama.
Harga emas banyak dipengaruhi oleh harga emas dunia, situasi geopolitik, juga kondisi perdagangan emas di dalam negeri. Fluktuasi yang terjadi, bisa merugikan investor jika tak cermat membaca momentum.
Tak seperti saham yang menghasilkan dividen, atau deposito yang memberikan passive income, emas tak memberikan imbal hasil secara langsung.
Bagi investor yang mengincar tambahan arus kas atau penghasilan secara berkala, tentu emas bukanlah pilihan yang ideal dalam jangka yang pendek.
Investasi emas tak bisa dicoret begitu saja dari daftar instrumen investasi. Namun, jika ditujukan untuk investasi jangka pendek bukanlah instrumen yang tepat.
Emas cocok bagi investor yang bertujuan untuk diversifikasi portofolio jangka panjang, sekaligus memiliki aset yang likuid jika suatu saat memerlukan tambahan kas secara cepat, tanpa memikirkan penurunan nilainya. (*)